Rabu, 18 Agustus 2010

Esai :

MENJADI USTADZ SEJATI

 oleh: Ahmad Suyudi

Suatu ketika aku ingin sekali mengunjungi rumah kecil tempat kediaman Pak Marsahid, guru ngajiku ketika aku masih kecil di kampung halamanku. Niat ini secara tak sengaja dan spontan muncul di hatiku. Aku kangen beliau. Padahal sebelum ini tidak pernah terbersit di benakku untuk mampir ke rumah itu, meskipun aku sendiri seringkali pulang ke kampung.
.
Nah, kualami lagi nostalgia masa lalu yang seketika melintas di benakku.

Dulu, sekitar 35 tahun yang lalu, aku pernah mengeja alif ba ta dan asyik mendengar dongeng-dongeng riwayat nabi-nabi yang dikisahkan oleh guru ngajiku. Dan setiap malam Jumat kami belajar membaca tahlil, lalu pada malam Selasa, khusus malam Selasa, kami semua diajar pesholatan. Kami semua para murid pengajian diajarkan bagaimana menjalankan sembahyang yang tertib dan rapih. Bagaimana sujud dan ruku’ yang benar, bagaimana duduk bersimpuh yang benar dalam membaca tahiyat, bagaimana bersedekap yang benar, bagaimana mengangkat kedua tangan ketika tabiratul ikram yang benar, semua diajarkan dengan teliti dan tertil olehnya, termasuk sampai kepada semua manfaat dari setiap gerakan di dalam sholat, kami semua memahami dan mengetahuinya.

Kami adalah anak-anak kampung yang ceria dan gembira. Setiap hari bermain berkejaran di pelataran berdebu di depan langgar, menikmati kebebasan senja yang indah sambil menunggu datangnya Maghrib. Setelah sholat berjamaah di langgar, kami akan saling berlari, berebut lebih dulu tiba di rumah guru ngaji agar memperoleh antrian terdepan untuk memperoleh pelajaran dari guru ngaji kami, Pak Marsahid. Karena antrian belakang tentu konsekuensinya akan pulang semakin malam.

Cara Pak Marsahid mengajar tidak berbeda dengan guru-guru ngaji pada umumnya di kampung.Yakni menggunakan Metode Iqra’, cara mengajar ngaji yang sekarang dipakai, ditiru dan diadopsi oleh para ustadz di kota. Setiap murid akan maju berdua, duduk di amben (dipan besar dari bambu) beralas tikar pandan menghadap ke meja kayu, di mana terletak Juz ‘Ama yang bagian pertamanya berisi pelajaran mengeja. Kami berada di sisi kanan dan kiri Pak Marsahid. Beliau dengan penuh kesabaran mengajari kami para pemula yang baru berumur antara lima sampai enam tahun mulai dari mengeja huruf alif ba ta, layaknya seorang guru yang mengajar privat. Setelah selesai, maka giliran murid lainnya maju. Dan begitu seterusnya hingga murid dengan antrian terakhir. Bagi murid yang sudah tingkat membaca Al-Qur’an, Pak Marsahid akan mendengar dan memperhatikan kalimat perkalimat, lalu membetulkan dan mengoreksinya jika terjadi salah lafal atau salah ucap dalam membacanya. Dengan tuding terbuat dari lidi aren berwarna hitam kelam, beliau menunjuk setiap kalimat yang salah dan harus dengan benar dibaca oleh muridnya.

Sebelum sampai kepada pelajaran mengeja huruf hijaiyah, semua murid pemula harus sudah hafal terlebih dahulu surat-surat pendek di dalam Juz ‘Ama. Begitupun bagi anak-anak yang sudah lebih besar. Semua murid akan diharuskan mampu menghafal seluruh surat-surat pada Juz ‘Ama. Jadilah kami murid-murid yang selalu hafal semua surat baik yang pendek maupun yang panjang-panjang di dalam Juz ‘Ama.

Murid-murid yang mengaji di rumahnya selalu tak pernah berkurang. Selalu tak lebih dari duapuluh anak dan tak kurang dari sepuluh. Selalu belasan anak. Sebab selalu berjumlah sama dengan banyaknya anak-anak di kampungku. Dan ini artinya, setiap anak di kampungku selalu menjadi murid-murid pengajian di rumah Pak Marsahid. Angkatan demi angkatan, generasi demi generasi, selalu seperti itu adanya. Jadi semua anak-anak yang terlahir dan besar di kampungku adalah murid pengajian di rumah Pak Marsahid. Kakakku almarhum yang kini usianya sudah 59 tahun, dulu ketika kecil juga mengaji kepada Pak Marsahid. Kakakku yang lain baik lelaki maupun perempuan juga mengaji kepadanya. Lalu adik-adikku yang terlahir kemudian juga mengaji kepadanya. Terus berlangsung sampai sekarang. Anak-anak kakak-kakakku masih juga mengaji kepadanya. Anak-anak adik-adikku juga mengaji kepadanya. Sebuah keberlangsungan yang terjadi dengan begitu saja. Tidak pernah ada yang menunjuk atau menugasi ataupun mengangkat Pak Marsahid untuk menjadi guru. Tidak ada surat perintah atau surat tugas, apalagi SK layaknya para pegawai dan pejabat di kota yang dibayar besar dan malah oleh negara diberi bermacam-macam tunjangan, transport, kesejahteraan, tunjangan profesional, tunjangn fungsional, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, pensiun dan lain-lain dan sebagainya. Tidak pernah ada yang meminta beliau menjadi guru ngaji. Dan juga tak ada yang punya wewenang memecat, mutasikan, apalagi memberhentikannya. Begitu saja, pekerjaan itu terjadi dengan begitu saja.

Sebuah pekerjaan mulia yang selalu dipercaya sebagai suatu ibadah. Itulah yang menjadi keyakinan dan prinsip dasar kesetiaan Pak Marsahid dalam menjalaninya. Tidak pernah beliau mengeluh, capek maupun malas menghadapi pekerjaan itu. Apalagi mangkir, mbolos meninggalkan para muridnya, karena tempat mengajarnya juga di amben (dipan bambu) di rumahnya sendiri yang sederhana.
Dan jangan sesekali kalian membayangkan kalau-kalau Pak Marsahid memperoleh uang upah bayaran, gaji honor dari pekerjaan yang ditekuninya ini. Sebab tak seorang pun dari murid-muridnya--yang barangkali sampai sekarang sudah berjumlah ratusan itu--ada yang membayarnya. Beliau tidak pernah memperoleh upah atau gaji atau bayaran apa pun dari pekerjaan yang dilakukannya.

Lalu dari mana beliau dan anak istrinya memperoleh rezeki nafkah untuk biaya hidup sehari-hari?

Malam hari selepas Maghrib beliau jadi guru ngaji dengan belasan anak-anak muridnya yang antri memperoleh pengajaran, keesokan pagi hari selepas subuh beliau sudah harus mempersiapkan barang dagangan. Pekerjaan hari-hari beliau adalah berjualan makanan kecil untuk anak-anak. Beliau berkeliling dengan sepeda 'onthel' dari kampung ke kampung, atau kadang-kadang berhenti di sekolah-sekolah atau madrasah, melayani jajanan anak-anak. Bergonta-ganti jenis makanan yang dibuatnya bersama istrinya. Kadang bakso tusuk, kadang es cingcau, kadang keripik-keripik goreng, serta berbagai macam makanan kecil lainnya yang disukai anak-anak. Itulah matapencaharian sesungguhnya yang dilakukan oleh guru ngajiku dari dulu.

Namun siapa yang mengira kalau keikhlasan dan ketulusan hati yang seperti itu ternyata mampu bertahan puluhan tahun. Sebuah pekerjaan memberi ilmu kepada murid-muridnya yang hanya didasari oleh keikhlasan tanpa mengharap balasan apa pun dari siapa pun. Lillahi Ta’ala. Tanpa pamrih apa pun, bahkan boleh jadi pahala atau ganjaran pun tak pernah dipikir-pikirkan olehnya.

Suatu kali aku bertanya kepadanya : "Lik, apa hanya ganjaran yang Pak Lik harapkan?"

Dia tertawa. "Ganjaran? Ganjaran itu apa, toh? Nek (jika) setiap orang, jutaan orang, milyaran orang berharap ganjaran... waduh.. neng endi (di mana) naruhnya ganjaran Gusti Allah itu?"

Keikhlasan. Itulah kekuatan yang membuatnya bertahan, tanpa lelah dan bosan, terus-menerus konsisten dijalaninya menjadi ustadz sejati itu hingga hari ini. Semua dilakukannya hanya demi, sekali lagi, hanya demi : Lillahi Ta'ala. Ridlo Allah semata, tak lebih.

Maka itulah yang kulihat keadaan Pak Marsahid selalu tetap seperti dulu, seakan tak pernah mengalami perubahan apa-apa dalam hidupnya. Dia hanya ingin Allah mencintai dirinya, dan sebaliknya, kerja dari dulu sampai hari ini yang dilakukannya pun, adalah bukti bahwa dia mencintai-Nya. Saling mencintai, itulah yang membuatnya abadi!

Dan hari ini aku benar-benar kagum. Kagum dengan kenyataan yang sudah sekian puluh tahun dijalani oleh Pak Marsahid.

Kutatap lelangit rumah. Plafonnya terbuat dari anyaman bambu yang dilabur dengan kapur putih. Sebagian di salah satu sudutnya terlihat ada noda kecoklatan, adalah noda oleh bekas bocoran air hujan.

Rumah ini tidak berubah masih tetap seperti dulu. Beratap genting tua, berdinding gedek (bilik bambu). Beberapa ruangan kamar disekat dengan papan kayu berlabur putih. Dan kulihat listrik sudah terpasang. Tidak seperti dulu kami mengaji dengan penerangan lampu petromak. Lantainya juga sudah diganti dengan peluran semen. Dan masih seperti dulu juga Pak Marsahid yang seolah tidak pernah berubah tua. Badannya yang kecil dan kurus, tidak pernah tua. Tetap sama seperti dulu. Padahal menurut hitunganku mungkin usianya sudah di atas tujuh puluh tahunan. Dulu ketika aku berumur enam tahun dan menjadi muridnya mengaji, fisiknya seperti itu, dan kini ketika aku berjumpa lagi berada dekat dengannya, kuperhatikan, ternyata masih seperti dulu juga. Aku sendiri bertambah tua dengan beberapa helai uban mulai menghias kepalaku, sedang dia seperti tidak berubah.

Aku sempat tertegun memandanginya. Aku memanggilnya dengan sebutan Lik (artinya: Paman). Dengan agak terbata aku katakan kepadanya, dengan cara apa aku harus membalas dan berterima kasih kepadanya. Aku pernah jadi muridnya, mengeja alif ba ta sehingga bisa mengatahui ajaran agamaku.

Dia tersenyum. “Balas apa?” sahutnya, “wong semua sudah kewajibanku dan kewajibanmu. Iya to?” Dia malah menukas seperti itu. "Menuntut ilmu itu kwajibanmu. Memberi ilmu, karena hanya itu kebisaanku, maka jadi kwajibanku. Rak ngono carane wong urip kui...(kan begitu etikanya orang hidup itu)..."

“Jadi ustadz, jadi kiyai, jadi guru ngaji seperti Penjenengan ini kalo di kota bisa untuk mencukupi hidup, Lik,” kataku.

Pak Marsahid tertawa lebar. “Opo aku ra urip (apa aku tidak hidup), apa?”

Aku menggeleng. Aku tak bisa melanjutkan ucapanku. Aku hanya tak berhenti mengagumi guru ngajiku. Kesetiaannya. Keikhlasannya dalam melakukan pekerjaannya. Sebab di kota tempat tinggalku sekarang kuyakin tak akan kujumpai ustadz yang seperti dia…










Januari 2010










Tidak ada komentar:

Posting Komentar